Monday, November 14, 2016

Hillary Clinton, Negarawati Kelas Dunia dan Ikon Feminisme Abad 21

Oleh: Muhammad Sadam (artikel ini pertama kali saya publish dalam laman Qureta)
Hillary Clinton bersama mantan Presiden Bill Clinton, dan Senator Tim Kaine—menyampaikan pidato kekalahannya, di New York (foto: ABC News)
Hari Rabu lalu (9/11 waktu setempat) Hillary Clinton akhirnya menyampaikan Concession Speech-nya yang sangat inspiratif sekaligus emosional (lihat disini). “This loss is painful, and it will be for a long time. But remember that fighting for what’s right is worth it” begitu pesan Hillary kepada jajaran tim kampanye Hillary For America (HFA) di New York Hotel.
Dan momen itu membuat banyak HFA staffers, rekan pers, dan undangan—dan juga bahkan seorang J.K. Rowling—menitikan air mata. Seolah itu memaksa saya ingin menuturkan cerita terakhir dari Brooklyn mengenai sosok perempuan paling cerdas dan tangguh yang pernah saya ketahui, yang dulunya lebih dikenal sebagai Hillary Rodham.

Anyway, minggu lalu saya menonton film dokumenter karya Michael Moore yang berjudul, Michael Moore in Trumpland (saya sangat anjurkan untuk anda tonton—SANGAT!). Sebagai penggiat seni, sosok Moore memang terkenal dengan selera humor dan satire-nya, dan “Trumpland” sendiri sangatlah mengocok perut.
Namun ada banyak bagian di dalamnya yang juga membuat penonton menjadi berhenti tertawa sejenak, merenung, dan bahkan menangis (NO SHAME—I cried!). Terutama pada penggalan cerita yang dituturkan Michael mengenai figur Hillary Clinton, politisi perempuan Amerika Serikat yang sangat dicintai, dikagumi, sekaligus dibenci oleh banyak orang.
Hillary Rodham Clinton, adalah mantan pengacara yang kemudian menjadi First Lady negara bagian Arkansas, lalu First Lady Amerika Serikat, Senator perwakilan New York, Menteri Luar Negeri AS, dan akhirnya tahun ini berhasil membuat sejarah baru sebagai perempuan pertama Amerika (dari dua partai utama) yang menjadi calon presiden. Sejauh ini saya tidak mengetahui ada sosok lain di dunia ini dengan resume politik se-mengagumkan Hillary.
Presiden Obama sendiri mengakui tidak ada seorang pun dalam sejarah Amerika yang lebih qualified dibandingkan Hillary untuk menjadi presiden. Tidak Obama sendiri, tidak juga Bill Clinton, suami Hillary Clinton yang merupakan Presiden AS ke-42.
“Saya ngefans banget sama Hillary Clinton, dan saya ingin melihat sosok perempuan yang sangat cerdas dan luar biasa tangguh seperti Hillary memimpin Amerika dan dunia.” Itu yang saya katakan kepada Robby Mook (Campaign Manager HFA) dalam skype-interview kami Juli 2015 lalu. Itu mungkin terdengar sedikit naif, seolah saya menjadikan gender sebagai alasan utama dalam memilih pemimpin politik.
Tidak ada yang salah dengan alasan “woman card” untuk memilih seorang pemimpin, akan tetapi tentu saja ada banyak kualitas objektif lain yang membuat Clinton menjadi sangat qualified—atau bahkan banyak orang mengatakan, overqualified—untuk menjadi presiden di Negara superpoweritu. Mulai dari world-class resume-nya yang tidak tertandingi—arguably oleh siapapun di dunia ini—hingga proposal kebijakan domestik dan internasional yang diajukannya.
Niat Hillary ke dalam politik sudah menonjol sejak masa sekolah ketika ia ingin bekerja bagi salah satu tokoh konservatif paling berpengaruh saat itu, Barry Goldwater. Ia juga terlibat dalam gerakan anti Perang Vietnam, yang membuat jiwa konservatifnya mulai condong ke arah liberal (sampai sekarang ini).
Simak saja (disinicommencement speech yang sangat politis, yang disampaikan Hillary di almamaternya, Wellesley College (salah satu Sekolah Perempuan paling prestisius di AS). Itu adalah pidato kelulusan pertama yang pernah disampaikan oleh mahasiswi di kampusnya, dan membuat headline hingga ke media nasional.
Dan ketika lulus pasca-sarjana dari Yale Law School, karir politik Hillary semakin nyata. Masih sangat muda, ia menjadi satu-satunya lawyer perempuan yang terlibat langsung membantu komite khusus di DPR Amerika yang saat itu hendak melakukan impeachment kepada Presiden Richard Nixon dalam skandal Watergate yang terkenal itu.
Karir politik itu seolah menghilang ketika Hillary mengikuti Bill Clinton pindah ke Arkansas (daerah asal Bill), dan bekerja di sebuah firma hukum swasta di kota Little Rock. Namun perjalanan panjang ke ranah politik kembali terbuka ketika Bill—yang juga adalah pengacara lulusan Yale—terpilih menjadi Jaksa Agung Arkansas.
Langkah itu semakin nyata ketika akhirnya Bill Clinton terpilih menjadi Gubernur Arkansas pada tahun 1978, dan Hillary menjadi First Lady negara bagian tersebut. Sebuah batu loncatan politik yang akhirnya mengantarkan the Clintons kepada Gedung Putih ketika Bill Clinton terpilih menjadi presiden pada tahun 1992.
Ketika menjadi Ibu Negara-lah, Hillary mulai melebarkan eksistensi politiknya. Dan mulai saat itu, hujatan, konspirasi, dan serangan politik yang bertubi-tubi dikerahkan oleh lawan politik suaminya kepada Hillary dan keluarganya. Mulai dari hal profesional seperti Whitewater, hingga yang paling personal seperti skandal Monica Lewinsky.
Namun hal yang awalnya paling terkenal adalah, “baking cookies and had teas”—sebuah remarksyang disampaikan Hillary bahwa, sebagai Ibu Negara dirinya tidak ingin tinggal di rumah dan hanya “membuat kue dan minum teh”—dia ingin terlibat dalam policy making. Ambisi yang ia wujudkan melalui upayanya memberikan universal healthcare kepada seluruh warga AS di tahun 90-an. Hillary juga adalah Ibu Negara pertama yang berkantor di The West Wing.
Sejak saat itu lawan politik dari kubu konservatif melihat sosok Hillary yang sangat berbeda dari para Ibu Negara sebelumnya, sebagai ancaman serius. Mereka menolak mentah-mentah proposal healthcare yang diajukan Hillary, bahkan mempermalukannya dalam banyak interview di media. Bersamaan dengan “cookies and teas”, kegagalan “Hillarycare” pun menjadi bahan olok-olokan politisi di Washington, elit media, dan komedian late night shows.
Apakah Hillary menyerah? HILL NO. Ia justru semakin aktif dalam memberikan pengaruh politiknya bahkan hingga ke kancah internasional, terutama untuk kaum perempuan dan anak-anak. Ia menghebohkan dunia ketika berkunjung ke Cina pada tahun 1995, dan memberikan remarkspaling iconic dalam pergerakan feminisme modern, “Human Rights are Women’s Rights, and Women’s Rights are Human Rights, once and for all”.
Tidak heran jika kemudian banyak yang mengidolakan Hillary Clinton sebagai ikon feminisme abad 21 (Gallup sudah lusinan kali menempatkan Hillary sebagai perempuan paling berpengaruh di dunia). Jiwa feminis Hillary sudah tertanam sejak masih sangat kecil. Latar belakang keluarganya sendiri penuh dengan sentimen feminisme yang kuat, baik dari ayahnya, Hugh Rodham, seorang pengusaha kecil dan perwira militer, ataupun ibunya, Dorothy Rodham.
Ketika Hillary berusia lima tahun, ia mengalami semacam bullying dari salah seorang teman sepermainannya. Berkat nasihat ibunya, Hillary kecil pun berhenti mengeluh, kembali menghadapi teman sepermainannya itu, dan menghujamkan pukulan di wajahnya.
Kenangan masa kecil Hillary itu seolah menjadi metafor paling pas untuk menggambarkan apa yang terjadi di Kongres Amerika beberapa bulan lalu dalam kasus Benghazi. Lawan-lawan politik Hillary dari Partai Republik kembali ingin menjatuhnya image-nya dengan melakukan investigasi partisan mengenai “kelalaian” Hillary dalam kasus Benghazi yang berujung pada kematian empat warga AS di Libya saat ia menjabat sebagai Menlu.
Mereka menggelar Public Hearing yang disiarkan LIVE oleh semua stasiun televisi, sehari sebelum pelaksanaan debat capres pertama Partai Demokrat pada masa primary elections lalu. Hasilnya sama saja dengan lusinan investigasi partisan dan independen lainnya yang menyatakan tidak ada sama sekali “kesalahan” yang dilakukan Hillary dalam kasus Benghazi.
11 JAM PENUH, Hillary tampil memukau dengan argumentasi dan pembelaannya. Bahkan sebagian besar politisi, elit media, dan warga AS dari semua spektrum politik, menilai Hillary seolah baru saja menampar wajah lawan-lawan politiknya, dihadapan jutaan penonton. (Sidenote: Ahok dan tim-nya bisa belajar banyak dari konteks ini kedepannya.)
Semua yang saya paparkan diatas tentu saja tidak sepenuhnya merepresentasikan sosok Hillary Clinton. Sampai tahun 2009, Hillary adalah politisi yang terlalu centris, tidak benar-benar liberal, tetapi juga tidak lagi seorang konservatif seperti ketika remaja. Beberapa arah kebijakannya sering tidak konsisten namun cenderung berevolusi ke arah yang progresif.
Misalnya masalah gay marriage. Ketika menjadi Menlu, Hillary pernah mengkampanyekan “Human Rights are Gay Rights, and Gay Rights are Human Rights” di Markas PBB, namun ia belum mendukung gay marriage. Hillary akhirnya mendukung setelah Presiden Obama sendiri menyatakan dukungannya. Hillary memang pragmatis—hal yang terlambat saya sadari sebagai sesuatu yang justru dibutuhkan dalam spektrum politik yang sangat terpecah seperti di Amerika.
Namun satu hal yang tidak pernah berubah dalam penilaian saya mengenai Hillary Clinton, dia adalah wanita tangguh yang tidak pernah menyerah, she just doesn’t quit—like EVER. Terutama untuk melakukan sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, khususnya bagi kaum perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas (pekerjaan pertama Hillary setelah kuliah adalah membantu program Criminal Justice untuk warga kulit hitam di daerah-daerah selatan). Dan Donald Trump sendiri mengakui—secara privat dalam acara tradisi Al Smith Dinner, dan secara publik dalam debat terakhir mereka—bahwa Hillary memang adalah sosok perempuan tangguh yang tidak mudah menyerah.
Hillary adalah seorang statewoman yang telah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun untuk public service. Bahkan dalam pidato kemenangannya, Trump mengakui bahwa Amerika berhutang budi kepada Hillary atas semua pengabdiannya selama ini.
Finally, ada salah satu quote dalam serial televisi populer Glee (yeah, I know—I watched glee, get over it!) yakni, “being a part of something special makes you special”. Dan bagi para perempuan—tidak hanya di Amerika, tetapi di seluruh dunia—eksistensi Hillary Clinton seharusnya membuat kalian bangga dan merasa spesial sebagai kaum hawa. Dan kegagalan Hillary memecahkan glass ceiling terakhir itu harusnya menjadi pemacu semangat bahwa kalian bisa menjadi apapun yang kalian inginkan, termasuk menjadi presiden.
Seperti yang dikatakan Hillary dalam pidatonya hari ini, “We may haven’t shattered the highest hardest glass ceiling yet, but someday someone will, and it might be sooner than we thought.” Serta jangan lupa, bahwa selama lebih dari 200 tahun Amerika merdeka, dan hampir 100 tahun sejak perempuan Amerika diperbolehkan ikut pemilu—belum pernah ada perempuan lain sebelum Hillary Clinton yang SEDEKAT ITU dengan kursi kepresidenan. And that alone, is BEYOND impressive.
You’re an icon, Hillary. And you HAVE made history!
*Catatan: Data-data sejarah dalam tulisan ini bersumber dari dokumentasi “It Takes a Country” produksi MSNBC, dan film dokumenter “Michael Moore in Trumpland” karya Michael Moore.

No comments:

Post a Comment