Thursday, August 11, 2016

Pentingkah Pemilu Amerika Bagi Indonesia?

Argumentasi sederhana untuk Indonesia sebagai bagian dari komunitas global (dikutip dari tulisan saya di laman Qureta)
Calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Hillary Clinton (Wikipedia)

Keinginan saya untuk menuliskan ini terinspirasi dari salah seorang penulis di Qureta, yang beberapa hari sebelumnya merilis tulisan Kegagalan Pemahaman Islam Donald Trump. Tulisannya menarik, saya sepenuhnya setuju dengan esensinya, namun ada satu bagian kecil dimana si penulis seperti mengisyaratkan bahwa pemilu di Amerika Serikat (AS) tidak ada hubungannya dengan Indonesia. Well, tentu saja saya tidak setuju.

Perlu dipahami bahwa Amerika kini telah memasuki minggu kedua musim Pemilihan Umum presiden mereka. Setelah melalui masa Pemilihan Pendahuluan (Primary Election) yang cukup panjang di masing-masing 50 Negara Bagian, District of Columbia, dan enam Daerah Teritorial sejak Bulan Februari lalu, kini Amerika memasuki masa kampanye Pemilihan Umum (General Election) yang akan berlangsung sampai Bulan November nanti.

Musim pemilu itu resmi dimulai tepat setelah berakhirnya konvensi dua partai utama dalam sistem politik AS, yang telah berlangsung selama dua pekan terakhir di Bulan Juli kemarin. Partai Republik, partai yang berbasis ideologi konservatif akhirnya menetapkan Donald Trumpbusiness mogul yang sangat kontroversial itu, sebagai calon presiden mereka.

Selama empat hari konvensi di ClevelandOhio, delegasi-delegasi partai pengusung Abraham Lincoln itu memaparkan gambaran Amerika yang terkesan sebagai dystopian yang begitu menakutkan, terutama dari isu imigrasi, ekonomi, pertahanan, dan keamanan nasional. Semua itu adalah bentuk tranformasi janji-janji politik yang telah disampaikan oleh Trump dan tim kampanyenya selama masa Pemilihan Pendahuluan.

Sementara dari kubu liberal, Partai Demokrat pun secara resmi telah mengukuhkan Hillary Clinton sebagai calon presiden mereka, dalam konvensi yang berlangsung empat hari di kota PhiladelphiaPennsylvania. Mantan Menteri Luar Negeri, Senator perwakilan New York, sekaligus Ibu Negara itu, mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjadi calon presiden Amerika Serikat dari dua partai utama yang ada.

Setelah kalah dari Barack Obama di tahun 2008, kali ini Hillary Clinton berhasil mengalahkan empat kandidat lain Partai Demokrat dalam Pemilihan Pendahuluan. Bernie Sanders, Senator perwakilan Vermont, menjadi pesaing terakhir Clinton yang secara mengejutkan membuat perjalanan Clinton ke kursi nominasi tidak cukup mulus. Bahkan Sanders berhasil membuat platform politik centrist Clinton menjadi lebih liberal.

Berdasarkan banyak survey partisan maupun independen, paling tidak ada lima masalah utama yang menjadi fokus perhatian warga Amerika saat ini, yakni ekonomi, keamanan nasional, pelayanan kesehatan, kontrol senjata api, dan Hak Asasi Manusia. Kedua partai menawarkan platform yang sangat kontras dari semua isu-isu tersebut, dan kedua isu utamanya mempunyai implikasi global yang sangat signifikan termasuk bagi Indonesia.

Dari sisi ekonomi, para ekonom dunia (konservatif maupun liberal) dari Economist Intelligence Unit, telah memaparkan penelitian mereka beberapa bulan lalu bahwa potensi kemenangan Donald Trump dalam pilpres Amerika, adalah ancaman ekonomi global terbesar ketiga yang ada saat ini. Ancaman itu bahkan jauh lebih parah daripada hengkangnya Inggris dari Uni Eropa yang belum lama ini mengguncang ekonomi dunia.

Ancaman tersebut menjadi jelas ketika Trump berjanji untuk menaikan tariffs dagang, memperketat perdagangan Amerika yang bisa memicu perang dagang internasional, hingga retorikanya mengenai Cina yang ia anggap sevagai manipulator mata uang. Bahkan Direktur Eksekutif IMF (International Monetary Fund) Christine Legarde, mengatakan bahwa kemenangan Trump bisa menjadi bencana ekonomi global terparah yang pernah ada.

Amerika Serikat sendiri adalah pangsa ekspor utama bagi Indonesia. Dengan tarif 15%-20% saat ini, ekspor (non-migas) Indonesia ke AS pada tahun 2015 adalah yang terbesar, yakni US$1,33 miliar (lebih dari Rp17 triliun). Kenaikan tarif seperti yang diinginkan oleh Trump (hingga mencapai 45%) tentu akan mengurangi nilai ekspor Indonesia secara signifikan, yang pastinya akan berimbas buruk pada ekonomi Indonesia sendiri.

Dari isu kemanan nasional, Hillary Clinton dan Donald Trump memperlihatkan ke-kontras-an yang jauh lebih jelas lagi. Sebagai mantan Menteri Luar Negeri AS, Clinton jauh lebih berpengalaman dalam menangani masalah keamanan nasional dan hubungannya dengan dunia internasional. Tidak seperti Trump, Clinton juga mempunyai tempramen personal yang jauh lebih tepat dalam menanggulangi terorisme melalui inklusifisme global.

Sementara Donald Trump justru menawarkan konsep protectionism dan isolationism yang berlebihan dan berbahaya. Idenya mengenai pelarangan imigran muslim (termasuk dari Indonesia) untuk masuk ke Amerika tentu saja sangat diskriminatif, bertentangan dengan konstitusi AS sendiri, kembali membangkitkan arus islamophobia di Amerika, dan justru dijadikan sebagai alat propaganda oleh kelompok teroris dalam merekrut anggotanya.

Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan luar negeri AS dengan model ideologi America-First yang dijanjikan oleh Trump, akan sangat mengancam kestabilan politik dan keamanan di beberapa regional, terutama di Timur Tengah, negara-negara konflik di Afrika, aliansi NATO dan Eropa Timur, Asia Timur, dan juga Asia Tenggara.

Indonesia dan ASEAN secara umum adalah partner politik Amerika di Asia. Prinsip America-First yang digalang Trump, menjanjikan tidak adanya intervensi apapun oleh AS dalam urusan keamanan negara lain termasuk aliansi globalnya. Hal itu bisa berbahaya karena negara-negara non-sahabat AS seperti Rusia dan Cina, bisa lebih leluasa melakukan propaganda politiknya di kawasan regional strategis, seperti kini di Laut Cina Selatan.

Tidak hanya itu, temperamen Donald Trump yang mudah terpancing oleh isu-isu sederhana dalam bentuk sindirian di twitter, akan sangat berbahaya. Beberapa hari lalu, Joe Scarborough—mantan anggota Kongres AS yang kini menjadi salah satu news pundit di stasiun televisi MSNBC—mengungkapkan bahwa Trump pernah beberapa kali secara privat mempertanyakan mengapa Amerika tidak menggunakan senjata nuklir mereka.

Suka atau tidak, Amerika Serikat saat ini tetaplah menjadi satu-satunya negara superpower yang ada setelah keruntuhan Uni Soviet dan Perang Dingin berakhir. Sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia masih bergantung pada eksistensi AS dalam menjaga kestabilan ekonomi dan politik di setiap regional mereka.

Hal terakhir yang kita inginkan adalah Amerika sendiri yang justru memprakarsai Perang Nuklir antar negara di dunia. Dan sosok labil seperti Donald Trump yang mempertanyakan penggunaan senjata nuklir seenak tuntutan emosi pribadinya, harus ditanggapi dengan serius oleh setiap orang yang mengaku menjadi bagian warga dunia (global citizen).

Dan demikianlah yang dilakukan oleh para ahli National Security dan pemerhati Foreign Policy Amerika. Sebagian besar mereka (Demokrat maupun Republik) telah secara terbuka menyatakan betapa terancamnya keamanan nasional AS dan kestabilan internasional jika Donald Trump terpilih sebagai presiden pada Bulan November nanti.

In the end, keberadaan sosok seperti Donald Trump sebagai kandidat presiden AS-lah yang membuat pertanyaan “Pentingkah Pemilu Amerika Bagi Indonesia?” terkesan sebagai pertanyaan retoris belaka. Jawabannya jelas, ya, tentu saja pemilu AS penting bagi Indonesia. Terlebih lagi pemilu kali ini.

No comments:

Post a Comment