Monday, November 28, 2016

Kebenaran Yang Kita Tahu dan Yang Kita Percayai

Oleh: Muhammad Sadam (tulisan ini pertama kali saya terbitkan di laman Qureta)
ilustrasi: firstcovers.com
Ada sebuah petikan dialog dalam film American Hustle yang membuat saya selalu terinspirasi setiap kali menonton film garapan David O. Russell itu, “People believe what they want to believe”—“Orang-orang percaya dengan apa yang ingin mereka percayai,” begitu kalimatnya. Sebuah ungkapan sederhana yang mungkin sebagian dari kita tidak pernah benar-benar memahami maksudnya.
Pemaknaan ungkapan tersebut baru akan menjadi sangat penting ketika kita mulai terjebak dan sibuk membicarakan, memperdebatkan, hingga kemudian mempermasalahkan mengenai “benar atau salah”. Sebuah realita menyedihkan mengenai jangkauan pemikiran sebagian dari kita, yang masih dengan naifnya mengira bahwa segala sesuatu di alam semesta ini hanyalah berkutat mengenai benar atau salah—hitam atau putih.

Banyak dari kita yang terkadang terlalu bersemangat memperdebatkan persoalan kebenaran, sampai-sampai kita lupa atau memang tidak menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat hakiki dari kebenaran yang kita percayai, dan kebenaran yang kita ketahui. Dan perbedaan itulah yang tidak saya sadari terutama pada masa-masa bersekolah dulu.
Tiga tahun masa SMA hingga masa-masa awal berkuliah, banyak waktu saya yang terhabiskan sebagai seorang Salafi yang boleh dibilang cukup fanatik. Bagi saya saat itu, ajaran Islam yang saya pelajari dari Ulama-Ulama kelompok Salafi adalah yang paling benar. Saya tidak menyukai para Atheist, saya sering curiga kepada non-muslim, saya sangat membenci Yahudi, dan saya bahkan sering mencibir orang-orang Hizbut Tahrir.
Bagi saya saat itu, kelompok-kelompok yang saya sebutkan tersebut tidak lebih dari orang-orang yang memang bisa berpikir, namun tersesat dengan logika, dan akhirnya tidak bisa melihat—let alone—memahami kebenaran Tuhan. Saya dulu percaya bahwa kebenaran Islam yang saya pelajari adalah yang paling absolute, sehingga saya sering beradu pendapat dengan anggota kelompok-kelompok kajian Islam lainnya.
Saat itu, tanpa saya sadari, apa yang saya percayai sebagai kebenaran, telah saya artikan sebagai dasar pengetahuan, yang saya paksakan atau tuntut kebenarannya kepada orang lain. Saya seolah telah lupa dengan prinsip-prinsip ilmiah yang pertama kali saya kenal ketika belajar Biologidi SMP dulu. Bahwa apa yang disebut ilmiah (pengetahuan), haruslah objektif. Dan kepercayaan, bukanlah sesuatu yang objektif.
Saya ingin membicarakan itu dalam konteks umum, namun saya akan membahasnya dalam contoh spesifik, Tuhan, dan Agama—hal yang saat ini sedang kembali memanas di Indonesia, khususnya bagi warga DKI Jakarta yang sedang menghadapi pilkada. Sebelum lanjut, saya hanya ingin mengatakan bahwa perkawinan antara politik dan agama adalah hal yang seharusnya dihindari jika kita ingin melahirkan produk politik yang OBJEKTIF.
Anyway, saya sendiri lahir dan dibesarkan di dalam keluarga yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Sejak kecil saya pun percaya bahwa Tuhan memang ada, dan saya memegang teguh hal itu sebagai sebuah kebenaran yang saya percayai bahkan sampai hari ini, no matter what. Namun sebelum ini, tanpa saya sadari—seperti kebanyakan yang lain—saya menganggap premise itu sebagai satu-satunya kebenaran yang ada.
Ketika mulai beranjak dewasa dan sering menghabiskan waktu “berkencan” dengan Science, saya mulai menyadari bahwa ada kebenaran-kebenaran lain yang dengan jelas tidak sejalan dengan kebenaran yang saya percayai yang merupakan produk dari sebuah dogma. Sains ternyata bisa menawarkan kemungkinan objektif yang bisa menafikan eksistensi Tuhan—sesuatu yang sebelumnya saya percayai sebagai kebenaran mutlak.
Lantas apakah saya masih percaya dengan keberadaan Tuhan? Ya, tentu saja saya percaya, dan itulah kata kuncinya—PERCAYA. Itu adalah kehendak pribadi saya terlepas dari segala bentuk kemungkinan objektif yang ditawarkan oleh Theory of Evolution, The Big Bang Theory, The String Theory, The Theory of Everything dan teman-temannya.
Apakah saya percaya Tuhan hanya karena persoalan hak? Sama sekali tidak. Sebagai insan yang lemah, yang terkadang menemui banyak persoalan hidup yang belum bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, saya membutuhkan sandaran personal untuk survive. Dan mempercayai adanya kekuatan lain, omnipotent non-thing yang mengatur segala sesuatu, adalah jalan yang selama ini telah membantu saya bertahan.
Namun inti permasalahan yang sebenarnya terletak pada ruang lingkup kebenaran yang saya percayai itu. Apakah Tuhan itu ada adalah sebuah kebenaran? Ya, kebenaran yang sifatnya personal, yang saya percayai, ruang lingkupnya hanya berlaku kepada saya atau orang-orang lain yang memiliki kepercayaan yang sama.
Sifatnya subjektif dan tidak bisa saya paksakan, atau jadikan dasar untuk berargumen kepada orang lain yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Well—bisa saja, akan tetapi perdebatannya tidak akan pernah menemui akhir, sebab masing-masing pihak sama-sama menawarkan kebenaran yang subjektif. Simple-nya, saya percaya Tuhan, dia tidak, namun tidak ada satupun dari kita yang 100% TAHU apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Sama halnya dalam konteks mempercayai agama ataupun hal-hal subjektif lainnya. Tidak ada gunanya seorang muslim yang berdebat membawa-bawa ayat-ayat Al-Qur’an—seberapa panjang dan benar-pun hafalannya itu—sebagai dasar argumentasinya kepada seorang kristen atau pemeluk agama lain, let alone kepada seorang atheist—atau sebaliknya. Sebab apa yang anda percayai sebagai kebenaran belum tentu dipercayai oleh orang lain.
Kebenaran objektif itu adalah kebenaran yang kita ketahui, bukan yang kita percayai. Seperti 1+1=2, itulah yang disebut pengetahuan, kita semuanya mengakui kebenarannya secara objektif dan kita menjadikan itu sebagai aturan dasar dalam melakukan perhitungan aritmetika lainnya. Tetapi teman saya percaya 1+1 itu sama dengan jendela—well, fine, tapi sekali lagi itu hanya berlaku bagi dia, tidak bisa dijadikan sebagai aturan dasar bagi orang lain.
Dalam konteks yang lebih umum, hukum yang berlaku di masyarakat, idealnya haruslah seobjektif 1+1=2—bisa diterima oleh setiap orang. Kondisi ideal tersebut tentu tidak bisa 100% tercapai dalam model demokrasi dengan sistem perwakilan. Namun paling tidak keobjektifannya bisa dipertanggungjawabkan karena kita semua sama-sama menerima model demokrasi sebagai bentuk paling ideal untuk sistem sosial kemasyarakatan kita.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah, kebenaran hukum haruslah objektif, sebab hukum mengatur kehidupan setiap orang. Dan karena hukum adalah produk politik, maka unsur-unsur subjektif seperti suku, agama, ras, norma-norma tradisional dan adat-istiadat lainnya, tidak seharusnya bercampur dalam ranah politik.
Jika elemen-elemen personal seperti agama menjadi dasar sistem politik, maka pada akhirnya kita semua hanya akan terperangkap dalam perdebatan mengenai benar atau salah, yang tidak akan pernah berakhir seperti sekarang ini. Pikiran kita terjajah oleh doktrin dan kaidah-kaidah tradisional yang diwariskan secara turun-temurun sebagai kebenaran yang kita percayai, bukan ketahui.
Kita hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga dalam perdebatan yang tidak sehat yang justru mengarah kepada perpecahan, hanya karena kita lupa atau memang tidak sadar bahwa dunia ini tidak sesederhana benar atau salah—hitam atau putih. Bahkan jika kita benar-benar melihatnya secara objektif, dunia ini justru sangatlah abu-abu.

No comments:

Post a Comment